KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP - 272/PJ/2002
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN, PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN, DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
NOMOR KEP - 272/PJ/2002
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PENGAMATAN, PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN, DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa sehubungan dengan adanya perubahan undang-undang
perpajakan, untuk memberikan arahan kerja, keseragaman dan kelancaran proses
tindakan, keseragaman penyelenggaraan administrasi, serta untuk memperjelas
kaitan antara kegiatan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan, dipandang perlu mengatur kembali Petunjuk
Pelaksanaan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan Tindak
Pidana Di Bidang Perpajakan dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak;
Mengingat :
1.
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3209);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258) dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya;
4.
Fatwa Ketua Mahkamah Agung Nomor : KMA/114/IV/1990
tanggal 7 April 1990 tentang Penyerahan Hasil Penyidikan PPNS kepada Penuntut
Umum;
5.
Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor :
M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
6.
Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor :
M.04.PW.07.03 Tahun 1984 tanggal 27 September 1984 tentang Wewenang Penyidik
Pegawai Negeri Sipil;
7.
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 545/KMK.04/2000 tanggal
22 Desember 2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan;
8.
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 443/KMK.01/2001 tanggal
23 Juli 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi Dan
Bangunan, Kantor Pemeriksaan Dan Penyidikan Pajak, Dan Kantor Penyuluhan Dan
Pengamatan Potensi Perpajakan;
9.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-18/PJ/1995 tanggal
23 Pebruari 1995 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan Di
Bidang Perpajakan;
10. Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Nomor Pol. : Skep/1205/IX/2000
tanggal 11 September 2000 tentang Revisi Himpunan Juklak Dan Juknis Proses
Penyidikan Tindak Pidana;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PETUNJUK
PELAKSANAAN PENGAMATAN, PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN, DAN PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan :
1.
Pengamatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh Pengamat untuk mencocokkan data, informasi, laporan, dan atau pengaduan
dengan fakta, dan membahas serta mengembangkan data, informasi, laporan, dan
atau pengaduan tersebut untuk memperoleh petunjuk adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana di bidang perpajakan.
2.
Pengamat adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang ditugaskan untuk melakukan Pengamatan.
3.
Laporan Pengamatan adalah laporan hasil pengamatan.
4.
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan atau
bukti-bukti lain baik berupa keterangan, tulisan, atau benda-benda yang dapat
memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu
tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
5.
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan Pajak
untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadinya tindak
pidana di bidang perpajakan.
6.
Pemeriksa Bukti Permulaan adalah pemeriksa pajak yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan bukti
permulaan atas perintahnya.
7.
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah laporan
hasil pemeriksaan pajak yang memuat bukti permulaan tentang adanya dugaan kuat
terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
8.
Penyidik Pajak adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, yang diberi wewenang khusus
sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9.
Penyidikan tidak pidana di bidang perpajakan adalah
serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi
dan guna menemukan Tersangkanya, serta mengetahui besarnya kerugian pada
pendapatan negara.
10. Bahan bukti adalah benda berupa buku, catatan, dokumen, atau benda lainnya
yang menjadi dasar dan atau sarana pembukuan, pencatatan, atau pembuatan
dokumen lainnya yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan usaha
atau pekerjaan wajib pajak atau orang lain untuk diduga melakukan tindak pidana
di bidang perpajakan.
11. Penggeledahan adalah tindakan Penyidik Pajak untuk melakukan pemeriksaan
tempat atau ruangan tertentu untuk mendapatkan bahan bukti dalam rangka
tindakan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
12. Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik Pajak untuk mengambil alih
dan atau menyimpan di bawah penguasaannya bahan bukti untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
13. Barang bukti adalah bahan bukti yang telah disortir menurut macam, jenis,
maupun jumlahnya, yang dapat digunakan sebagai sarana pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
14. Pemeriksaan Tersangka atau saksi adalah serangkaian tindakan Penyidik Pajak
untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan kecocokan tersangka dan atau saksi
dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana di bidang
perpajakan yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang,
barang bukti, maupun unsur-unsur tindak pidana di bidang perpajakan menjadi
jelas.
15. Tersangka adalah setiap orang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana di
bidang perpajakan.
16. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
17. Badan adalah sekumpulan dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara
atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk
badan lainnya.
18. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana di bidang
perpajakan yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan atau dialami sendiri.
19. Ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus yang dapat memberikan
keterangan tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana di bidang perpajakan, guna kepentingan Penyidikan, penuntutan, dan
peradilan.
20. Pejabat yang berwenang adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak yang menduduki jabatan struktural sebagai Direktur Pemeriksaan,
Penyidikan Dan Penagihan Pajak atau Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor
Pemeriksaan Dan Penyidikan Pajak yang mendapat wewenang dari Direktur Jenderal
Pajak untuk menerbitkan dan menandatangani Surat Perintah Pengamatan, Surat
Perintah Pemeriksaan Pajak, dan khusus untuk Surat Perintah Penyidikan
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang berstatus sebagai penyidik
pegawai negeri sipil.
BAB II
PENGAMATAN
PENGAMATAN
Pasal 2
(1)
|
Setiap data, informasi, laporan, dan atau pengaduan yang diterima atau
ditemukan harus dianalisis dan dinilai terlebih dahulu mengenai mutu dan
bobotnya untuk ditentukan perlu tidaknya dilakukan pengamatan.
|
(2)
|
Pengamatan dilaksanakan oleh Pengamat dengan Surat Perintah Pengamatan
yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang berdasarkan hasil analisis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
(3)
|
Dalam melaksanakan Pengamatan, Pengamat harus berusaha memperoleh
tambahan bahan bukti mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan data,
informasi, laporan, dan atau pengaduan yang diperoleh.
|
Pasal 3
(1)
|
Dalam melaksanakan tugasnya, Pengamat dapat meminta keterangan dari pihak
ketiga untuk menambah dan melengkapi data, informasi, laporan dan atau
pengaduan yang telah ada.
|
(2)
|
Pengamat dilarang menjanjikan sesuatu kepada pemberi data atau informasi,
pelapor, atau pengadu dan wajib merahasiakan identitas sumber data,
informasi, pelapor, atau pengadu tersebut.
|
(3)
|
Pengamat tidak diperkenankan menyatakan identitasnya sebagai Pengamat
apabila dalam melakukan Pengamatan mengadakan kontak langsung dengan yang
diamati.
|
(4)
|
Hasil Pengamatan harus dilaporkan dalam Laporan Pengamatan.
|
(5)
|
Laporan Pengamatan dapat digunakan sebagai dasar untuk dilakukannya
Pemeriksaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
BAB III
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 4
(1)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan berdasarkan hasil analisis
data, informasi, laporan, pengaduan, laporan pengamatan atau laporan
pemeriksaan pajak.
|
(2)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh pemeriksa pajak dengan
Surat Perintah Pemeriksaan Pajak yang ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang.
|
(3)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan baik untuk seluruh jenis
pajak maupun untuk satu jenis pajak.
|
(4)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan harus diselesaikan dalam jangka waktu 2 (dua)
bulan sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu yang disesuaikan dengan keadaan.
|
(5)
|
Sepanjang tidak diatur tersendiri dalam Keputusan
ini, tatacara Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan dengan berpedoman pada
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 545/KMK.04/2000 tanggal
22 Desember 2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan dan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan
Lengkap yang berlaku.
|
Pasal 5
Bahan bukti yang ditemukan dalam pemeriksaan bukti
permulaan yang menimbulkan dugaan kuat tentang terjadinya tindak pidana di
bidang perpajakan dan atau tindak pidana umum yang dilakukan oleh wajib pajak
yang sedang diperiksa, dan atau oleh pihak lain yang berkaitan dengan wajib
pajak, harus diamankan oleh Pemeriksa.
Pasal 6
(1)
|
Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilaporkan dalam Laporan
Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(2)
|
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan berisi hal-hal
yang meliputi posisi kasus, modus operandi, uraian perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalamUndang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000, penghitungan besarnya kerugian pada
pendapatan negara, rincian macam dan jenis bahan bukti yang diperoleh, nama
dan identitas Tersangka atau para Tersangka, para Saksi, serta kesimpulan
atau pendapat dan usul Pemeriksa.
|
(3)
|
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Pejabat yang
berwenang yang menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(4)
|
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diusulkan kepada Direktur
Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak untuk penentuan tindak lanjutnya.
|
(5)
|
Laporan bukti permulaan dapat digunakan sebagai dasar penerbitan surat
ketetapan dan atau penyidikan pajak dan atau pembuatan laporan pengaduan
adanya tindak pidana umum kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
(6)
|
Laporan bukti permulaan yang mengandung unsur adanya tindak pidana umum
akan diatur lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis.
|
BAB IV
PENYIDIKAN
PENYIDIKAN
Pasal 7
(1)
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilakukan oleh Penyidik
Pajak berdasarkan Surat Perintah Penyidikan.
|
(2)
|
Saat dimulainya Penyidikan adalah pada saat disampaikannya Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Jaksa atau Penuntut Umum melalui
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan kepada Tersangka.
|
(3)
|
Penyidikan pajak dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan.
|
Pasal 8
(1)
|
Dalam melakukan Penyidikan, Penyidik Pajak wajib memperhatikan asas-asas
hukum yang berlaku, termasuk:
|
a. Asas praduga tak bersalah, yaitu bahwa setiap orang yang disangka,
dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Asas persamaan di muka hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dimuka hukum, tanpa ada perbedaan;
|
|
(2)
|
Pada tahap pemeriksaan dalam proses penyidikan, setiap Tersangka perkara
tindak pidana di bidang perpajakan dapat didampingi penasehat hukumnya.
|
(3)
|
Dalam hal diperlukan penangkapan dan atau penahanan, dilakukan dengan
bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
Pasal 9
(1)
|
Dalam melakukan tugasnya, Penyidik Pajak harus berlandaskan pada
undang-undang hukum acara pidana, hukum pidana dan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
|
(2)
|
Untuk melindungi bahan bukti yang ditemukan dalam proses penyidikan,
Penyidik Pajak berwenang untuk melakukan tindakan penyegelan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
|
(3)
|
Dalam melakukan tugasnya :
|
a.
Penyidik Pajak sebagai penegak
hukum wajib memelihara dan meningkatkan sikap terpuji sejalan dengan tugas,
fungsi, wewenang, serta tanggung jawabnya;
b.
Penyidik Pajak wajib menunjukkan
Tanda Pengenal Penyidik Pajak dan Surat Perintah Penyidikan pada saat
melakukan Penyidikan;
c.
Penyidik Pajak dapat dibantu oleh
petugas pajak lain atas tanggung jawabnya berdasarkan izin tertulis dari
atasannya;
d.
Penyidik Pajak dalam setiap
tindakan penyidikan wajib membuat laporan dan berita acara;
e.
Penyidik Pajak harus berpedoman
pada kode etik yang berlaku.
|
Pasal 10
(1)
|
Instruksi untuk melakukan penyidikan pajak diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
|
(2)
|
Surat Perintah Penyidikan ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang
sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 20, berdasarkan Instruksi Penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
Pasal 11
Penyidik Pajak wajib memberitahukan secara tertulis
saat dimulainya Penyidikan dan menyampaikan hasil Penyidikannya kepada Jaksa
atau Penuntut Umum melalui penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
ketentuan yang berlaku.
Pasal 12
(1)
|
Penyidik Pajak dalam melakukan penggeledahan dan atau penyitaan harus
terlebih dahulu mendapat izin tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat dan
harus berdasarkan Surat Perintah Penggeledahan dan atau Penyitaan dari
pejabat yang berwenang selaku Penyidik.
|
(2)
|
Penyidik Pajak yang melakukan penggeledahan dan atau penyitaan harus
membuat berita acara dalam waktu 2 (dua) hari setelah melakukan penggeledahan
dan atau penyitaan, dan tindasannya disampaikan kepada pihak atau wakil atau
kuasa atau pegawai dari pihak yang menguasai tempat yang digeledah dan atau
bahan bukti yang disita.
|
(3)
|
Tindasan berita acara sebagaimana tersebut dalam ayat (2) yang dilengkapi
daftar rincian bahan bukti yang disita diserahkan dengan bukti penerimaan.
|
(4)
|
Penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik Pajak harus
disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) orang saksi.
|
Pasal 13
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, apabila
Penyidik Pajak harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat
izin terlebih dahulu, Penyidik Pajak dapat melakukan penggeledahan dan atau
penyitaan atas benda-benda yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan dengan kewajiban segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat guna memperoleh persetujuannya, selambat-lambatnya 2 (dua) hari
setelah pelaksanaan penggeledahan dan atau penyitaan.
Pasal 14
Prosedur dan tatacara pengurusan barang bukti yang
disita diatur lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis Penyidikan.
Pasal 15
(1)
|
Pemanggilan tersangka atau saksi oleh Penyidik Pajak dalam rangka
pemeriksaan untuk menambah atau melengkapi petunjuk dan bukti yang ada dilakukan
dengan surat panggilan yang sah.
|
(2)
|
Surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil
selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan.
|
(3)
|
Dalam hal seseorang yang dipanggil tidak ada ditempat atau menolak untuk
menerima, surat panggilan tersebut dapat disampaikan kepada keluarganya atau
Ketua Rukun Tetangga atau Ketua Rukun Warga atau Ketua Lingkungan atau Kepala
Desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut akan
disampaikan kepada yang bersangkutan, dengan disertai tanda terima.
|
(4)
|
Terhadap tersangka atau saksi yang tidak memenuhi panggilan tanpa alasan
yang patut dan wajar, kepadanya diterbitkan dan diberikan surat panggilan
kedua.
|
(5)
|
Dalam hal tersangka atau saksi yang dipanggil untuk kedua kalinya tetap
tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang patut dan wajar atau tetap menolak
untuk menerima dan menandatangani surat panggilan kedua, Penyidik Pajak dapat
meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan yang
bersangkutan.
|
Pasal 16
(1)
|
Sebelum pemeriksaan terhadap tersangka dimulai, kepadanya diberitahukan
hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukumnya.
|
(2)
|
Penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan pada saat Penyidik
Pajak melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dengan cara melihat atau
mendengarkan pemeriksaan.
|
(3)
|
Tersangka atau Saksi yang diperiksa harus dalam keadaan sehat jasmani dan
rohani.
|
(4)
|
Kepada Tersangka diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya
dengan jelas dan dalam bahasa yang dimengerti.
|
(5)
|
Tersangka berhak didampingi penerjemah dalam hal tidak mengerti bahasa
Indonesia.
|
(6)
|
Dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan, Penyidik Pajak dapat meminta bantuan tenaga ahli.
|
(7)
|
Hasil pemeriksaan Tersangka, Saksi, serta keterangan Ahli dituangkan
dalam berita acara pemeriksaan.
|
Pasal 17
(1)
|
Dalam hal Tersangka atau Saksi dikhawatirkan akan meninggalkan wilayah
Indonesia, Penyidik Pajak segera meminta bantuan Kejaksaan Agung untuk
melakukan pencegahan.
|
(2)
|
Jika Saksi diperkirakan tidak dapat hadir pada saat persidangan,
pemeriksaan terhadapnya dilakukan setelah terlebih dahulu diambil sumpahnya
oleh Penyidik Pajak.
|
Pasal 18
Dalam hal Tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri,
merusak, atau menghilangkan barang bukti, Penyidik pajak dapat meminta bantuan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia agar dilakukan penangkapan dan atau
penahanan terhadap Tersangka.
Pasal 19
Laporan Kemajuan Pelaksanaan Penyidikan disampaikan
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 20
(1)
|
Setelah proses penyidikan selesai Penyidik Pajak membuat Berita Acara
Pendapat, dalam rangka penyusunan.
|
(2)
|
Penyidik Pajak menyerahkan berkas perkara, dan barang bukti kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
|
(3)
|
Dalam hal berkas perkara dikembalikan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau Penuntut Umum, Penyidik Pajak harus segera menyempurnakan dan
melengkapi sesuai dengan petunjuknya.
|
Pasal 21
(1)
|
Penyidik menghentikan penyidikan dalam hal
peristiwanya memenuhi ketentuan Pasal 44A Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000.
|
(2)
|
Penyidikan dihentikan atas perintah Jaksa Agung atas
kuasa Pasal 44B Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir denganUndang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000.
|
(3)
|
Penyidik Pajak memberitahukan penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Jaksa atau penuntut Umum, Tersangka, atau keluarganya
melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
(4)
|
Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan,
Penyidik Pajak menyampaikan laporan kemajuan atau berkas perkara kepada
pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan untuk tindak lanjut
penagihan pajak-pajak terutang, kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa.
|
(5)
|
Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baru dapat
dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
|
Pasal 22
Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud
Pasal 21 ayat (2) Penyidik Pajak memberitahukan hal tersebut kepada Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 23
(1)
|
Administrasi penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan
penata usahaan kegiatan penyidikan, pencatatan, pelaporan dan pendataan, baik
untuk kepentingan peradilan, operasional maupun pengawasan.
|
(2)
|
Rincian tindakan pelaksanaan, administrasi, bentuk, jenis formulir, dan
laporan, serta buku-buku yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan
Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan Tindak Pidana Di
Bidang Perpajakan diatur lebih lanjut dalam Petunjuk Teknis Penyidikan.
|
BAB V
PENUTUP
PENUTUP
Pasal 24
Dengan ditetapkannya Surat Keputusan ini, Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-02/PJ.7/1990 tanggal
24 Desember 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti
Permulaan, dan Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan dan Surat Edaran
Nomor : SE-03/PJ.56/1988 tanggal
12 Januari 1988 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain Dalam Rangka Mendapatkan
Bukti Permulaan tentang Telah Terjadinya Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 25
Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 2002
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
HADI POERNOMO
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar